From Consumer to Producer

Macan asia, julukan itu dulu sempat diperkirakan akan disandang oleh Indonesia ketika era 90-an Indonesia bisa mencapai swasembada beras. Tapi apa lacur, semuanya buyar karena ternyata dibalik semua itu ada sisi gelap kita sebagai bangsa, apa itu? tak lain dan tak bukan adalah utang. Dulu…dulu nih, mungkin saja utang dimasukkan sebagai pemasukan dalam neraca keuangan negara Indonesia :) aneh bukan. Memakai akal manapun yang namanya utang pasti bukan uang kita, kenapa? karena kan harus dibalikin hehehe..

Balik ke macan asia, ternyata dunia sekarang lebih mengidentikkan julukan itu kepada negara dengan penduduk terbesar di dunia. Tentu saja tak lain dan tak bukan adalah RRT kalo orang jawa ngomong, Republik Rakyat Tiongkok, singkatnya China saja namanya. Kalo dipikir-pikir dengan logika orang kapitalis, tentu agak aneh. Dengan penduduk terbesar di dunia, mustinya bisa dijadikan ladang yang amat sangat luas bagi para pedagang dan penjual di dunia. Bayangkan, dengan penduduk lebih dari 1.2 milyar berapa kebutuhan bahan pangan mereka per tahun, berapa kebutuhan barang konsumtif mereka per hari, per bulan, bahkan per tahun. Bukankah sebuah pangsa pasar yang amat sangat potensial.

Namun ternyata hal itu tidak mencuat di China, neraca perdagangan mereka surplus milyaran dolar dengan negara-negara kapitalis, negeri paman sam terutama. Kenapa hal itu bisa terjadi? karena China bisa mengubah nightmare mereka sebagai kue pangsa pasar yang potensial menjadi sarana mass production yang unggul. Mereka mampu mengubah potensi sebagai konsumen menjadi potensi besar sebagai produsen. Lihat dimana-mana tak ada negara yang tak menjual barang-barang made in China. Mau ke negeri afrika yang nun jauh dan terpencil e.g sudan, sampai ke negara-negara eropa yang kaya hampir semua barang-barangnya made in China. Hampir semua barang ber-merk terkenal, ada tiruan (bahasa halus) atau bajakan (bahasa kasar) buatan mereka.

Dalam hal neraca perdagangan sungguh mencengangkan, Amerika Serikat sampai-sampai frustasi dengan njomplangnya neraca perdagangan mereka dengan China yang membuat cadangan dolar mereka mengembang mengejar seteru dekatnya Jepang. Proteksi pemerintah mungkin salah satu kuncinya, disisi lain sistem komunis mungkin memang menyimpan kemudharatan, tapi tentu apakah lebih buruk dari kapitalis? Minimnya korupsi mungkin juga salah satu komponen utama keberhasilan itu. Entah sampai kapan kejayaan akan terus menaungi mereka?