Petani, Nasibmu Kini

Petani, kalau kita mendengar kata itu pastilah konotasi dan angan-angan kita akan menuju ke sebuah kehidupan di pedesaan. Kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan, penuh dengan kedamaian, hidup dalam keheningan yang jauh dari segala kebisingan.

Petani adalah sosok yang sering kali dilupakan, mulai dari warung-warung nasi pinggir jalan sampai restoran-restoran mewah di gedung-gedung perkantoran. Mungkin kita memang sering melupakannya, karena kita makan sambil berbincang tentang kita-kita sendiri. Dalam situasi krisis seperti ini sepertinya mereka seperti “korban” sekaligus “terdakwa”. Bagaimana tidak, meskipun harga sembako yang tinggi menjulang di pasaran namun tidak lantas petani beroleh banyak keuntungan. Tidak mereka menjual hasil keringat dan ayunan kaki dan tangan mereka tidak jauh dari sebelumnya.

Petani memang jarang mengambil keuntungan. Kadang mereka lebih memilih sedikit keuntungan dengan sekeranjang kepuasan akan kemurahan hati yang ia berikan. Mungkin ia mau berkata “Biarlah Tuhan yang mengatur segalanya”.

Sebagian besar petani di desa-desa memang berpendidikan rendah, meskipun tidak jarang di tempat saya ada insinyur pertanian yang ikut macul (nyangkul di sawah). Kadang para petani sering dijadikan pancatan (tempat berpijak) oleh orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan. Prinsip nriman, seperti orang jawa mungkin seperti itulah sifat mereka.

Petani adalah sosok yang tidak sombong, tidak adigang adigung dan adiguna kata orang jawa. Tidak merasa punya kelebihan karena punya peranan.

Mungkin suatu saat akan tiba masanya, para petani akan memakai dasi, naik mobil mercy. Mereka akan menanam tebu diatas gedung-gedung tinggi, menyebar benih padi diantara aspal-aspal, menanam jagung di trotoar-trotoar bahkan mungkin suatu saat nanti mereka akan menuai padi sambil memakai dasi.

Bookmark the permalink.

Comments are closed.