Aku Pasti Bisa

Pekan kemarin dapat tugas dari kantor untuk ikutan training Self Potential Development yang diselenggarakan oleh Dale Carnegie Training. Awalnya sich lumayan males ikutan, maklum karena kebetulan lagi banyak banget kerjaan di kantor yang harus diselesaikan. Tapi apa daya J akhirnya berangkat juga.

Hmm…nggak rugi ternyata ikutan. Dari materi yang disampaikan memancing orang untuk banyak omong dan bagusnya lagi, memancing orang untuk ngomong dengan lebih terstruktur. Tak jarang kita memang orang yang banyak omong, tapi karena omongnya nggak terstruktur jadinya biar berbusa-busa nggak ada yang ngerti..hehehe…kasian deh lu…
Kalo dilihat-lihat sesuai dengan merk (judul) trainingnya memang tujuan utama adalah membangun kepercayaan diri serta menggali lebih jauh kemampuan terpendam dalam diri kita (kalo yang ini kata-kata mutiara..:) ). Ada banyak hal yang menjadi catatan saya selama ikut training ini antara lain ternyata pede saja sih nggak cukup kalo nggak bisa ngomong dengan terstruktur, pede saja sih nggak cukup kalo nggak bisa mengontrol diri dengan baik dan masih banyak lagi ternyata. Saking padatnya training, waktu 4 hari terasa seperti hanya sehari atau dua hari.

Oh ya.. kemarin saya dapat oleh-oleh dua barang dari training tersebut, satu adalah sebuah ballpoint dengan tulisan “Outstanding Performance Award” dan sebuah buku berjudul “Dale Carnegie’s Scrapbook”. Informasi dari mereka buku ini tidak dijual bebas dan hanya diberikan sebagai hadiah kepada orang tertentu yang dipilih selama mengikuti training. Buku ini berisi catatan-catatan dari Dale Carnegie serta beberapa petikan dari tokoh-tokoh lain maupun dari kitab suci agama-agama di dunia.

Sebagai contoh di halaman 29 ada sebuah petikan:

—-

from the writings of DALE CARNEGIE

IF YOU HAVE a worry problem, do thise three things:

  1. Ask yourself, “What is the worst that can possibly happen?”
  2. Prepare to accept it if you have to.
  3. Then calmly proceed to improve on the worst.

Hmm…lumayan bagus buat bahan bacaan, meski belum tentu selalu menjadi acuan..

Transmigrasi Buat Langganan Korban Banjir, Mungkinkah?

Kemarin, menteri tenaga kerja dan transmigrasi mengusulkan agar penduduk jakarta yang langganan jadi korban banjir ditransmigrasikan saja. Katanya lagi, enak lho ikut transmigrasi, udah dapat rumah, jatah hidup setahun dan lahan seluas 2.5 hektar lagi. Asik kan?

Eit, tapi tunggu dulu! Biarpun diiming-imingi hal-hal muluk seperti itu, saya kok ndak yakin kalo banyak orang yang mau ataupun at least tertarik :) Kalo dulu mungkin alasannya cukup statis, ‘mangan ora mangan asal kumpul’, tapi bukankah pikiran ini milik orang desa? bukan orang kota kayak yang jadi korban banjir dibantaran kali ciliwung itu?

Sekarang mungkin alasannya lebih maju sedikit. Pertama, sebagian atau bahkan hampir semua dari mereka bukanlah petani. Transmigrasi saat ini hampir semuanya adalah transmigrasi agraris. Di lokasi transmigran mereka di-proyek-kan untuk menjadi petani dengan dikasih modal lahan, bibit, pupuk, dan segala keperluan lainnya. Apakah mungkin penjual ‘pracangan’ tiba-tiba bisa berubah menjadi petani yang tiap hari harus berpeluh ditengah ladang? Meskipun diberikan pelatihan sebelum berangkat, sungguh amat sangat berat pastinya bagi mereka untuk melakoni kehidupan yang baru sebagai seorang petani. Kedua, Mereka belum terbiasa dengan budaya menabung seperti orang desa. Mungkin banyak yang berpikir, mana mungkin orang desa lebih punya budaya menabung daripada orang kota, tabungan di bank aja nggak punya? Budaya menabung bukan berarti punya tabungan di bank. Yang dimaksud disini adalah budaya menyimpan uang untuk keperluan di hari depan. Kenapa orang kampung lebih punya budaya menabung? Karena mereka terbiasa menyimpan uang, mereka sadar mereka cuman dapat uang pas lagi panen saja, selebihnya pas musim tanam mereka harus gigit jari dan ngirit, sudah pasti nggak ada pemasukan:) Ketiga, mereka adalah orang-orang niaga bukan lah petani. Apa bedanya? orang-orang niaga bisa mendapat dana kapan saja, sekali jual barang atau jasa dapat upah, asik..Sedangkan petani, mereka cuman dapat uang pas musim panen saja, selebihnya ya harus cari penghasilan lain kalo mau.

Transmigrasi non-agraris.

Meskipun demikian transmigrasi tetaplah solusi yang cukup baik, namun harus ada sedikit perubahan skema. Yaitu dengan menggunakan sistem transmigrasi non-agraris. Transmigrasi industri misalnya, atau transmigrasi yang lain-lain, meskipun komponen agraris tetap harus dipertahankan, karena berhubungan dengan rantai makanan. Bayangkan kalo ndak ada yang nanem padi, terus emang harus beli beras terus dari kota juga :)

Mungkin ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah kita…

From Consumer to Producer

Macan asia, julukan itu dulu sempat diperkirakan akan disandang oleh Indonesia ketika era 90-an Indonesia bisa mencapai swasembada beras. Tapi apa lacur, semuanya buyar karena ternyata dibalik semua itu ada sisi gelap kita sebagai bangsa, apa itu? tak lain dan tak bukan adalah utang. Dulu…dulu nih, mungkin saja utang dimasukkan sebagai pemasukan dalam neraca keuangan negara Indonesia :) aneh bukan. Memakai akal manapun yang namanya utang pasti bukan uang kita, kenapa? karena kan harus dibalikin hehehe..

Balik ke macan asia, ternyata dunia sekarang lebih mengidentikkan julukan itu kepada negara dengan penduduk terbesar di dunia. Tentu saja tak lain dan tak bukan adalah RRT kalo orang jawa ngomong, Republik Rakyat Tiongkok, singkatnya China saja namanya. Kalo dipikir-pikir dengan logika orang kapitalis, tentu agak aneh. Dengan penduduk terbesar di dunia, mustinya bisa dijadikan ladang yang amat sangat luas bagi para pedagang dan penjual di dunia. Bayangkan, dengan penduduk lebih dari 1.2 milyar berapa kebutuhan bahan pangan mereka per tahun, berapa kebutuhan barang konsumtif mereka per hari, per bulan, bahkan per tahun. Bukankah sebuah pangsa pasar yang amat sangat potensial.

Namun ternyata hal itu tidak mencuat di China, neraca perdagangan mereka surplus milyaran dolar dengan negara-negara kapitalis, negeri paman sam terutama. Kenapa hal itu bisa terjadi? karena China bisa mengubah nightmare mereka sebagai kue pangsa pasar yang potensial menjadi sarana mass production yang unggul. Mereka mampu mengubah potensi sebagai konsumen menjadi potensi besar sebagai produsen. Lihat dimana-mana tak ada negara yang tak menjual barang-barang made in China. Mau ke negeri afrika yang nun jauh dan terpencil e.g sudan, sampai ke negara-negara eropa yang kaya hampir semua barang-barangnya made in China. Hampir semua barang ber-merk terkenal, ada tiruan (bahasa halus) atau bajakan (bahasa kasar) buatan mereka.

Dalam hal neraca perdagangan sungguh mencengangkan, Amerika Serikat sampai-sampai frustasi dengan njomplangnya neraca perdagangan mereka dengan China yang membuat cadangan dolar mereka mengembang mengejar seteru dekatnya Jepang. Proteksi pemerintah mungkin salah satu kuncinya, disisi lain sistem komunis mungkin memang menyimpan kemudharatan, tapi tentu apakah lebih buruk dari kapitalis? Minimnya korupsi mungkin juga salah satu komponen utama keberhasilan itu. Entah sampai kapan kejayaan akan terus menaungi mereka?